Dalam membangun suatu hubungan baik antar setiap manusia, komunikasi merupakan kunci terpenting. Baik komunikasi kepada orang tua, pasangan, anak-anak maupun kerabat dan rekan kerja. Dengan komunikasi baik secara lisan ataupun tertulis, kita memiliki harapan orang lain dapat memahami apa yang kita sampaikan.
Penyampaian suatu pesan secara lisan maupun tertulis memiliki suatu harapan bahwa seseorang akan dapat mendengar san membaca apa yang dikatakan dengan baik dan benar. Komunikasi efektif dapat terjadi jika kita memiliki ketrampilan seseorang dalam mengirim maupun menerima pesan.
Mendengar dan Mendengarkan
Saya teringat dengan apa yang disampaikan Bu Aisya Yuhanida seorang psikolog, pemateri pada workshop emphatic listening yang saya ikuti tahun lalu. Beliau berkata “ saat berinteraksi dengan anak, mana yang lebih sering kita lakukan? Mendengar atau mendengarkan?
Apa perbedaan dari mendengar dan mendengarkan?
Terlihat mirip padahal ada perbedaan yang jelas dari mendengar dan mendengarkan. di dalam bahasa inggris, keduanya telrihat perbedaan jelas. Bahasa inggris mendengar adalah hear, sementara mendengarkan adalah listen. Setiap kita di dunia ini pasti mendengar sesuatu dan mendengarkan sesuatu.
Mendengar merupakan penangkapan bunyi atau suara dengan telinga. Sadar atau tidak, sengaja atau tidak disengaja. Jika ada bunyi, indera pendengar kita akan langsung menangkap atau mendengar bunyi-bunyi tersebut.
Kita dapat mendengar suara itu tanpa ada unsur kesengajaan atau secara kebetulan. Sedangkan mendengarkan merupakan mendengar akan sesuatu dengan sungguh-sungguh.
Singkatnya, Jika mendengar tidak ada niat atau kesengajaan, sementara mendengarkan jika mendengar dengan sengaja dan kesungguhan.
Jangan sampai selama ini kita hanya mendengar anak tapi tidak pernah mendengarkan mereka.
Hal yang Menjadi Hambatan Mendengarkan Anak
Bu Aisya juga pernah menuturkan dalam bukunya Coach as parent, mendengarkan anak menjadi hal yang penting karena sepanjang pengalamannya di ruang praktik banyak sekali orang tua yang terjebak hanya mendengar anak tanpa mendengarkan mereka.
Ah aku sudah merasa mendengarkan anak kok.
Banyak orang yang merasa sudah mendengarkan anak. Padahal yang kita lakukan hanya sekadar mendengar mereka. Hal ini terjadi ketika ada orang berbicara, tapi kita hanya dengar bukan apa yang disampaikan orang tersebut melainkan kita sibuk dengan suara yang ada dalam diri kita.
Kok bisa?
Kita terlalu sibuk dengan penilaian dan analisa kita, atau suara-suara lain yang mengingatkan kita terrkait dengan hal tersebut. Saya pun merasa pernah mengalami hal ini. Kita tidak fokus mendengarkan lawan bicara hanya sibuk dengan suara-suara internal atau biasa disebut monkey voice.Apa akibatnya? Kita tidak lagi mendengarkan apa yang diucapkan lawan bicara kita. Namun, hanya suara internal kita sendiri. Ada beberapa hambatan yang dapat menjadi penyebab kita kurang efektif mendengarkan orang lain, khususnya anak kita.
- Kita berpikir tahu apa yang ingin kita dengarkan.
- Kita menghakimi bagaimana cara dia menyampaikan bukan isinya apa yang dikatakan.
- Kita mencari konfirmasi, bukan informasi.
- Kita menilai apa yang dia katakana memang sesuatu yang sepatutnya dia katakan, tidak ada yang spesial dengan hal tersebut.
Mendengarkan Anak sama dengan Mendengarkan Perasaannya
Kita harus paham dan yakin bahwa ketrampilan mendengarkan adalah ketrampilan utama yang harus dimiliki sebagai orang tua.
Padahal, saya pribadi pun merasakan betapa tidak mengenakkannya tidak didengarkan. Saya di waktu muda memiliki kesulitan untuk menyampaikan apa yang saya rasakan dan pikirkan kepada kerabat dekat.
Manfaat utama dari ketrampilan mendengarkan adalah menghargai anak yang sedang berbicara. Dengan demikian, anak akan merasa dihargai dan meningkatkan kepercayaannya untuk lebih terbuka menyampaikan apapun yang ada di pikiran dan perasaanya.
Sadar atau tidak selama ini banyak persoalan muncul ketika kita merasa tidak didengarkankan. Orang tua merasa anaknya tidak mendengarkannya, dan anak pun merasa orang tua tidak mendengarkannya.
Sampai di sini kita paham bahwa setiap orang di mana pun ingin didengarkan (apalagi anak kita) maka kita tahu bahwa orang (termasuk anak kita) akan sangat tertarik pada orang yang mau mendengarkan mereka.
Perjalanan memiliki ketrampilan mendengarkan memang tidak mudah. Ketrampilan mendengarkan ini harus disengaja dilatih.
5 Level Mendengarkan
Menurut Peg Allen, seorang trainer komunikasi menyampaikan bahwa ada 5 level mendengarkan. Level terendah adalah waiting to speak, tidak mendengar, kita hanya menunggu giliran berbicara.
Level kedua adalah mendengarkan untuk memberi penilaian, giving our experience. Saat kita mendengarkan untuk mengetahui anak sudah sesuai atau tidak dengan apa yang kita arahkan. Saya pernah merasakan saat berbicara kepada mereka yang lebih tua.
Level ketiga adalah mendengarkan untuk menyampaikan cerita atau pengalaman kita.
Level keempat adalah ketika kita selektif hanya mendengarkan hal-hal yang penting dan berguna saja bagi kita dan mengabaikan hal lain yang menurut kita tidak penting padahal mungkin itu penting bagi anak.
Level kelima adalah mendengar untuk mengerti atau emphatic listening.
Nah, di mana kah level mendengarkan kita kepada anak? Jangan-jangan selama ini kita mendengarkan hanya gatal untuk menasehati?
Insya Allah, di postingan selanjutnya saya coba untuk membagikan insight sesuai mengikuti workshop emphatic listening.
Cara agar Fokus Mendengarkan Anak
Pernahkah teman-teman menyembunyikan sebuah masalah dari orang tua dan lebih nyaman berbicara dengan guru? Atau pernahkan kita melihat fenomena ini. Apa alasan kita yang menyembunyikan sesuatu dari orang tuanya dan memilih orang lain atau guru sebagai penggantinya? Salah satunya karena ketidaknyamanan.
Kita merasa nyaman membicarakan masalah dengan orang lain dibanding dengan orang tua sendiri.
Kenyamanan tersebut didapatkan dari mendengar aktif, sebagai bentuk penerimaan. Perasaan diterima yang diperoleh dari perasaan didengarkan, membuat anak lebih terbuka untuk menyampaikan apapun. Sebaliknya, kita akan tertutup dan defensive karena merasa tidak didengar dan tidak diterima perasaannya.
Kita sering sekali menjumpai pelatihan-pelatihan bagaiman aberbicara yang baik, tapi hampir tidak pernah sengaja untuk berlatih mendengarkan. Padahal, langkah pertama untuk memastikan apa yang ingin kita sampaikan akn didengar oleh orang lain (termasuk anak kita) adalah dengan kita menunjukkan diri kalau mendengarkan mereka terlebih dahulu.
Berikut beberapa cara yang bisa kita terapkan agar dapat fokus mendengarkan anak.
1. Klasifikasikan Masalah yang Ada
Dalam bukunya Bu Aisya memaparkan bahwa dalam hubungan orang tua dan anak ada tiga keadaan terkait masalah yang mungkin terjadi :
- Anak memiliki masalah. Ketika anak memiliki masalah karena ada kebutuhan yang tidak terpenuhi, tapi ini tidak jadi masalah bagi orang tua karena tidak menggangu pemenuhan kebutuhan orang tua. Contohnya saat anak kehabisan waktu bermain gadget, namun jatah waktu bermain gadget telah habis.
- Tidak ada masalah, baik orang tua maupun anak.
- Orang tua memiliki masalah. Ketika anak memuaskan kebutuhannya sendiri, tapi tingkah lakunya mengganggu otang tua untuk memuaskan kebutuhannya sendiri. Contohnya ketika anak bermain lompat-lompat di kasur saat kita memerlukan waktu hening.
Mendengar aktif adalah teknik yang dapat kita lakukan dalam menghadapi masalah nomor 1. Saat anak memiliki masalah dan sebagai orang tua, kita ada disampingnya untuk mendampingi dia menyelesaikan masalahnya tersebut.
Dengan mengklasifikasikan masalah yang ada, kita dapat lebih mudah melakukan mendengar aktif tanpa ternodai kepentingan pribadi kita. Yuk, kita belajar ikhlas mereka menyelesaikan masalahnya sendiri.
2. Perbanyak Mendengarkan, Minimkan Bicara
Ketika mendengarkan, kita dapat memberikan reaksi yang sesuai sehingga anak terfailitasi berpikir dan menemukan jawaban atas pertanyaan serta masalahnya sendiri. Kita sering sekali hanya sekadar mendengar anak dan gatal ingin memberikan nasihat dan instruksi
Contoh kasus : seorang anak datang menangis karena habis terjatuh
“Nah, kan… Tuh, kan apa Mamah bilang kamu sih harusnya nurut sama Mamah jangan lari-lari bla bla …..”
Tanpa sadar atau kita sdadar sedang memberi pesan jika kita tidak percaya karena kita mengambil alih rasa tanggung jawab penyelesaian masalah dari diri anak. Dengan mendengarkan anak, kita dapat memunculkan rasa percaya diri anak.
“Sakit ya, mana yang sakit?” (dengarkan perasaannya, setelah diobati dan perasaannya tenang baru kita berbicara)
“Jatuh dimana, apa yang terjadi?”
…jawaban anak..(perbanyak mendengarkan anak)
“Kira-kira biar Kakak ga jatuh lagi gimana? (ajak anak berpikir untuk menyelesaikan masalahnya)
“Dengan kata lain, memperbanyak mendengarkan sama dengan kita memberikan lebih banyak kesempatan untuk anak mengenal dirinya sendiri, mengetahui persoalan dan tujuannya, serta melatihnya lebih bertanggungjawab dan mandiri.” (Aisya Yuhanida)
3. Bukan hanya dengan Mata, Mendengarkan dengan Mata
Dengan memastikan kontak mata terjaga saat berbicara dengan mereka merupakan salah satu cara untuk menunjukkan perhatian dan penerimaan kita kepada anak.
Ternyata tidak hanya dengan menjaga kontak mata. Seorang professor dari UCLA, Albert Mehrabian melaporkan hasil penelitian tentang komunikasi efektif. Bahwa tidak hanya kata-kata yang akan didengar orleh seseorang. 55% aspek visual memiiki peranan penting dalam komunikasi, 38% aspek vocal atau intonasi sementara hanya 7% kata-kata yang mempengaruhi.
Dari hasil penelitan ini jelas terlihat bahwa mendengarkan dengan telinga saja tidak cukup. Tidak hanya kata-kata yang perlu kita dengarkan, kita perlu melengkapinya dengan mendengarkan bagaimana dia mengucapkan kata itu serta ekspresi dan bahasa tubuhnya.
4. Tunjukkan Jika Kita Mendengar
Langkah terakhir untuk fokus mendengarkan anak adalah dengan menunjukkan jika kita mendengar mereka. Hal ini penting agar anak merasa lebih dimengerti dan dihargai.
Setidaknya ada dua cara yang dapat kita lakukan untuk menunjukkan kepad anak bahwa kita mendengarkan mereka, ada respons verbal dan nonverbal.
Menunjukkan Mendengar Secara Verbal
- Merespons Verbal Secara Berkala
Cara menunjukkan kita mendengar dengan respons verbal bisa dilakukan dengan menggunakan kata singkat. Hal ini menunjukkan bahwa kita masih terus mendengarkannya.
- Melakukan Parafrase
Kita bisa menyampaikan kembali apa yang sudah anak sampaikan tapi menggunakan bahasa lain yang kita pilih sendiri.
- Melakukan Reframing
- Memberikan Pengakuan
- Menyampaikan Refleksi atas Pemikiran
Menujukkan Mendengar Secara Nonverbal
Selain dengan bahasa verbal, kitapuun dapat menyampaikan respons kita dengan menunjukkan bahwa kita mendengar secara nonverbal. Cara-cara yang dapat kita lakukan sebagai berikut :
- Menjaga kontak mata
- Mengganguk
- Menunjukkan ekspresi wajah positif atau menyesuaikan ekspresi wajah sesuai dengan emosi anak saat membicarakan itu pada kita.
- Posisi dada mengarah ke anak untuk menunjukkan kita terbuka dan tertarik dengan apa yang sedang anak sampaikan.
Penutup
Begitu panjang perjalanan kita menjadi orang tua. Dengan memahami prinsip mengapa kita harus mendengarkan aktif kepada anak akan menancapkan akar kuat ke dalam diri kita sendiri. Kita tidak akan terjebak sekadar melakukan secara teknis-teknis di atas. Melainkan juga berupaya untuk menhejar tujuan yang lebih penting. Kita sama-sama berjuang agar anak lebih nyaman dan terbuka di depan kita orang tuanya, semesta pertama hidup mereka. Sehingga mereka nanti dapat menemukan jalan terbaik untuk dirinya sendiri.

Mantap tulisannya mbak, kalau menurut saya pribadi intinya sih mom gak bole ngejudge ke anaknya ketika anak ada masalah, makanya itu mom harus dengarkan terlebih dahulu keluhan-keluhan dari anaknya ketika ada masalah. Jika sudah mendengarkan keluhan dari anaknya dengan baik baru deh memberi nasihat dan solusi kepada anaknya supaya lebih berhati-hati
BalasHapusMasyaAllah, makasih Mbak Alya. benar semangat mendengarkan anak ataupun orang lain yang kita temui yang ingin saya sampaikan
HapusSetujuuu hal yang bisa dianggap sepele adalah mendengarkan, tapi saya baru tahu kalo ada 5 level of listening huhu makasih infonya min
BalasHapusIya Mbak Dina. sama-sama
Hapusgak cuman mendengar dia ngobrol, iya juga sih. Banyak omongan anak yg benar, sabar dan malah lebih bijak. Gak perlu malu utk mendengarkan omongan anak-anak kita. Itu yg aku praktekan ama anakku di rumah
BalasHapusbenar Mbak Gin, selamat melatih dan mempraktikkan mendengarkan anak ini di rumah :D
Hapusterkadang, saat kita benar-benar mendengarkan anak, lucu loh dan bahkan sampe amaze dgn ketulusan, kebaikan dan sayangnya yang pure banget
BalasHapusiya anak itu fitrahnya belum "berdosa" jadi lucu dan polos bgt ya Mbak Shynta
HapusBertambah lagi ilmu parenting yang saya dapat berkat tulisan Mbak Ina ini, tinggal menerapkannya. Insyaa Allah. Ternyata memang penting menyediakan waktu untuk mendengarkan anak ya
BalasHapusMasyaAllah, iya harus disengaja untuk berlatih uda fadli
Hapusdengan mendengarkan, anak merasa bahagia loh karena dianggap diperlakukan sejajar sama kita orang dewasa, hal ini juga bagus untuk perkembangan psikologis mereka jadi merekan pun paham pentingnya mendengarkan orang lain juga
BalasHapusKeren sekali tulisannya kak. Saya pribadi menjadi ibu juga berusaha agar tidak menghakimi tindakan anak. Mencoba di posisi yang bisa mendengarkan dan memahami anak dengan tepat ada tidak terjadi mis
BalasHapusAnak memang butuh di dengarkan ya kak. Sama seperti kita. Cuma kadang kitanya aja yang nggak peka
BalasHapussebetulnya nggak hanya untuk anak ya?
BalasHapusTapi diperlukan juga saat mendengar curhat, mendengar orangtua dll
Lawan bicara akan merasa dihargai,
dan sebagai anak kita mendapat berkah
betul Mbak Maria, mendengarkan siapa pun kita perlu untuk berlatih supaya lebih cakap dgn keahlian ini. lawan bicara khususnya anak jadi merasa dipahami
HapusBetul, tanpa sadar orangtua memang hanya mementingkan sudut pandangnya sendiri. Tanpa repot-repot mendengarkan yang anak rasakan. Padahal, apabila anak terbiasa mengungkapkan apa yang dia rasakan akan berdampak pada kehidupannya ketika dewasa juga. Bisa jadi mereka tidak nyaman dengan orangtua sendiri karena merasa diabaikan.
BalasHapusAstaghfirullah, padahal aku pas hamil dulu banyak baca buku parenting. Tapi pas praktek jadi lupa, dengan membaca artikel ini aku jadi kayak diingatkan lagi. Thanks for sharing ya.
Tulisan yang benar benar membawa saya untuk evaluasi diri sejenak. Apakah selama ini saya sudah benar benar mendengarkan anak atau hanya mendengar sepintas lalu. Terima kasih banyak.
BalasHapusMenjadi orang tua tidak gampang ya mbak, di tiap masa perkembangannya kita senantiasa harus mengikuti dan terus belajar menjadi orang tua yang baik
BalasHapusIni terjadi karena kurangnya pemahaman keilmuan parenting dan stigma orangtua selalu benar. Padahal sesekali mendengar(kan) apa yang anak mau, rasakan, inginkan, tak pernah ada salahnya.
BalasHapusPengingat yang baik. Ortu harus belajar mendengarkan anak supaya anak mencontoh untuk bisa mendengarkan orang lain juga
BalasHapusJadi masukan juga buat daku ini, meski saat ini latihannya baru ke keponakan biar terbiasa nanti ketika sudah berumah tangga.
BalasHapusMungkin aku lebih suka mendengarkan dari pada berbicara, apalgi kalo soal anak, ngobrol lebih seneng mendengarkan atau saling gantian, apalagi sekarang udah remaja jadinya malah lebih saling curhat saling mendengarkan
BalasHapusWalaupun belum menikah dan memiliki anak, tapi aku selalu belajar dari orang tuaku. Dimana setiap apa yang aku ucapkan, orang gtua terutama mamaku selalu mendengarkan dengan seksama. Walaupun akhirnya tidak selamanya keinginan terwujud, tapi setidaknya memberikan penjelasan yg jelas ke anak. Dan anak pun juga mengerti kok.
BalasHapusMenjadi pendengar untuk anak adalah hal yang memiliki tantangan tersendiri sebagai orang tua. Seringkali kesibukan bekerja, kegiatan sehari-hari, membuat kita merasa berhak menolak dan tidak mendengar dengan baik.
BalasHapusMembaca tulisan ini membuat saya sedih, hiks hiks... Rasa cinta kepada anak membuat naluri sebagai orang tua menyesal jika selama ini kurang mendengarkannya. Prakteknya, meskipun saya di rumah terus dan mendampingi anak-anak secara penuh, mendengarkan anak adalah kegiatan yang bagi saya punya tantangan lumayan. Mengapa? Kadang anak menceritakan hal yang menurut kita "tidak penting" seperti menceritakan isi game yang baru saja dia mainkan di saat kita sibuk mengurusi adik bayi yg minta gendong.
PR saya adalah bagaimana menanggapi dengan baik, mengkondisikan anak agar dapat menempatkan waktu yg tepat untuk berbicara supaya ia dapat didengarkan dengan baik oleh saya. Tentu dengan cara yg membuat anak nyaman dan mampu memilih waktu yg tepat. Padahal, sebagai orang tua kadang emosi duluan... duh
Baca ini jadi lumayan tercerahkan. Selama ini sudah berusaha juga mendengarkan anak agar bisa memahami apa yang anak inginkan.
BalasHapusIya bener jangan hanya mendengar tapi juga mendengarkan. Anakku sering banget curhat tiap hari, jadi selalu mendengarkan dengan baik. Kalau ada masalah ma temennya langsung kasih solusi
BalasHapusHwwaa ketampar deh aku.
BalasHapusKadang si isya ini sampe mukul2 ringan ke aku. Buu buuu, sampe aku bener2 lihat matanya dan fokus sama dia. Baru dia berhenti ngerengek. MasyaAllah ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜
masya Allah, aku masuk level berapa ini yaa? masih suka merespon ' iya' tapi nggak hadir untuk mendengarkan nih seringnyaa. Ini lagi jadi fokus aku dan suami juga teh. Masih harus sering melatih diri untuk hadir dan mendengarkan anak lebih,.
BalasHapusIni ilmu parenting yang banyak dilupakan ya, mendengarkan anak bukan hanya anak yang perlu mendengar kita, tetapi kita juga perlu mendengar pendapat anak
BalasHapusAh, iya.. Ini berharga banget bagi saya, semoga nnti kalau sudah berkeluarga bisa seperti itu. Karena mendengarkan juga bentuk peduli lebih dalam atass kehendak anak
BalasHapusNah bener mbak banyak orang dewasa terkesan menyepelekan omongan anak padahal kadang ada benernya juga lho. Cuma nama nya orang dewasa egonya tinggi banget sdh memandang rendah duluan jadi kadang ga pernah mau mendengarkan apa yg dikemukakan anak ya mbak
BalasHapusMendengarkan sebetulnya harus diterapkan di berbagai jenjang usia ya :)
BalasHapusTerima kasih tulisannya mencerahkan sekali :)
wah ini sangat bermanfaat, terimakasih sudah berbagi ya kak :D
BalasHapusMerasa berdosaa aku tuh mba shaf ketika sudah merasa mendengarkan anak. Padahal cuma mendengar ajaa.
BalasHapusHihi pantes isya tuh ngotot kalo aku bener2 ngga mendengarkan dia, dia ngotot ngomong terus sampe aku bener2 dengerin dia
Saya pernah membaca (sumbernya saya lupa), budaya hanya mendengar di masyarakat kita karena ketika kita masih kecil jarang diberikan kesempatan untuk berbicara, mengungkapkan pendapat (baik itu di keluarga maupun di sekolah) - sehingga kita terlatih mendengar untuk menjawab (kadang tidak benar-benar mendengarkan lawan bicara atau anak kita, karena pada saat yang sama di otak kita sudah ancang ancang memberika jawaban.
BalasHapusSementara di luar negeri, budaya mendengarkan sudah dari kecil. Karena merupakan bagian dari komunikasi efektif. Bahkan anak-anak (yang kalau di Indonesia masih digendong dan dilucu lucu) mampu berkomunikasi dengan benar, tidak hanya rengekan saja.
kalo anakku nih memang senang kali cerita, aaaapa aja diceritainnya, yg udah setahun berlalu pun masih ingat dia, haha.. walopun kadang suka kesel karena ceritanya nggak habis-habis, hihi..
BalasHapusitung-itung melatih diri dengerin segala keluh kesahnya pas udah dewasa nanti, pasti akan lebih banyak lagi ceritanya :')